Kamis, 12 Januari 2012

paper PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA MASA ORDE LAMA,ORDE BARU HINGGA REFORMASI


  1. PENDAHULUAN
      Demokrasi sebetulnya telah diterima hampir semua pemerintahan di dunia, pemerintahan otoriter sekalipun ikut-ikutan menggunakan atribut demokrasi untuk mengembangkan rezim mereka. Demokrasi pada dasarnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, yang merujuk pada pemerintahan oleh rakyat akan tetapi juga mencakup seperangakat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang.(soenarso,dkk;2006:73).
Sejarah demokrasi di Indonesia mengalami banyak perubahan yang bermula pada awal kemerdekaan Indonesia,yaitu dimulai dengan adanya masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,demokrasi pancasila hingga masa reformasi yang mencetuskan banyak perubahan .Adapun istilah lain yang menyatakan masa itu dengan menyebutkan masa orde lama,orde baru dan reformasi yang terjadi hingga sekarang.
B.     PERKEMBANGAN DEMOKRASI INDONESIA
      Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dibagi dalam empat masa ( Budiardjo,Miriam.2008:127-133) yaitu:
1.       Masa republik Indonesia I (1945-1959) yaitu masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan parlemen serta partai-partai. Dengan adanya kebebasan terhadap partai, tidak sedikit permasalahan yang muncul diantaranya yaitu akibat dari banyaknya koalisi yang terjadi dan sikap partai yang tidak dewasa dalam menanggapi tanggung jawabnya, partai partai yang dijalankan dipandang tidak konstruktif sehingga mengakibatkan sering terjadinya pergantian kabinet. Hal tersebut dirasa kurang efektif karena akan menghambat jalannya suatu pemerintahan pada masa itu. Masa demokrasi ini tidak berlangsung lama, karena banyaknya permasalahan yang muncul, sehingga ada dorongan kepada presiden soekarno untuk mengeluarkan dekrit presiden 5 jui 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945.hal ini menandakan berakirnya masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer.
2.       Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam aspek banyak menyimpang dari demokrasi konstitusional  yang secara formal sebagai landasannya, da menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
Pendapat seokarno ( soenarso,dkk; 2006:80) :mengenai pokok-pokok demokrasi terpimpin antara lain bahwa  :
1)      Demokrasi terpimpin bukan diktator
2)      Sesuai dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia
3)      Dalam hal kenegaraan dan kemasyarakatan meliputi bidang politik dan kemasyarakatan
4)      Oposisi sehat dan membangun
5)      Demokrasi terpimpin merupakan alat bukan tujuan
6)      Tujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual
7)      sebagai alat, demokrasi mengenal kebebasan berserikat dan berkumpul dalam batas-batas tertentu yaitu batas keselamatan Negara, batas kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan, dan batas pertanggungjawaban kepada Tuhan dan seterusnya (Ukasah Martadisastra,1987:147).
Dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin ini juga tidak sepenuhnya dijalankan sesuai dengan pokok-pokok demokrasi pada masa itu,dominasi kekuasaan yang muncul mengakibatkan tidak berjalannya pemerintahan yang demokratis, dan pembatasan partai politik menunjukan bahwa adanya penyimpangan dan menimbulkan oposisi yang tidak sehat karena adanya dominasi partai.
3.                 Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
Demokrasi pancasila menurut prof. Dardji Darmodihardjo (sunarso,dkk ; 2006:80)  demokrasi pancasila yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945 dan menyangkut prinsip prinsip :
1.      Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia
2.      Keseimbangan antara hak dan kewajiban
3.      Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan orang lain,
4.      Mewujudkan rasa keadilan sosial
5.      Pengambilan keputusan dengan musyawarah
6.      Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan, dan
7.      Menjunjung tinggi tujuan dan cita cita Negara
      Dari ke tujuh prinsip diatas, belum dijalankan secara sempurna, karena banyaknya pelaksanaan yang tidak sesuai denga ketentuan ketentuan yang berlaku, seperti dalam perwujudan keseimbangan antara hak dan kewajiban, mengingat pada masa orde baru, kekuasaan yang dikendalikan oleh presiden sangatlah sulit untuk mewujudkan hal tersebut, walaupun adanya pemilu yang dilaksanakan sebagi perwujudan demokrasi akan tetapi dalam prakteknya banyak campur tangan oleh berbagai pihak, dominasi partai, dan adanya kekuasaan ABRI yang memilki dwi fungsi yaitu selain menjalankan kegiatan militer, ABRI juga mengendalikan kegaiatan politik dan ekonomi. Hal tersebut menunjukan bahwa demokrasi tidak selalu dijalankan sesuai dengan apa yang diharapkan, karena adannya pembatasan terhadap masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, contohnya untuk parai pegawai negeri sipil harus wajib memilih partai GOLKAR dan bahkan terjadi banyak pencekalan terhadap orang  orang yang menentang kekuasaan pada masa itu.
4.         Masa Republik IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia ke III.
            Reformasi dianggap sebagai bentuk perubahan masyarakat dari banyaknya belenggu-belenggu yang terjadi di dalam rezim yang terasa sangat otoriter, tidak adanya kebebasan warga negaranya untuk menyampaikan berbagai aspirasi dan bahkan fungsi DPR yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintahan, di masa tersebut fungsi itu tidak dapat dijalankan,jadi dengan adanya reformasi ini dapat membuka semua peluang untuk dapat mewujudkan pemrintahan yang demokratis.hal ini dapat di perkuat bahwa ‘Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi ini telah banyak memberikan ruang gerak kepada partai politik maupun lembaga Negara (DPR) untuk mengawasi pemrintahan secara kritis, pemberian peluang untuk berunjuk rasa dan beroposisi, dan optimalisasi hak-hak DPR seperti hak bertanya, interpelasi, inisiatif, dan amandemen’. (soenarso,dkk;2006:94).
Demokrasi tidak hanya digunakan dalam dunia pemerintahan,adapun demokrasi yang dilakukan dalam hal politik, dan ekonomi. Indonesia merupakan salah satu Negara yang melaksanakan pemerintahan yang demokrasi, sebagai perwujudan nyatan yaitu dengan adanya pemilu yang diselenggaran untuk memilih wakil rakyat,hal itu merupakan perwujudan dimana ada keterlibatan masyarakat dalam mengambil sebuah keputusan.selain itu juga kegiatan perekonomian yang sudah tidak adan batasnya,pemerintah hanya sebagai pengawas dan masyarakat yang menjalankannya secara bebas.

Dari sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia,dapat disimpulkan bahwa dari ke empat masa perubahannya menmpunyai banyak kelemahan dan kelebihan masing-masing,demokrasi konstitusional yaitu adannya dominasi parlemen yang mempunyai tanggung jawab politik, kelemahannya yaitu adannya fragmentasi partai politik yang dianggap tidak dewasa dalam menangani berbagai  masalah,dan pergantian kabinet yang sering dilakukan,sehingga menjadi penghambat kinerja pemerintah, yang kedua demokrasi terpimpin yaitu adannya dominasi kekuasaan, sehingga terpusat pada penguasa serta pembatasan partai yang dilakukan dirasa menjadi salah satu pemecahan masalah yang terjadi pada masa demokrasi konstitusional, adanya peranan ABRI yang tidak hanya menjalankan peranannya dalam pertahanan Negara, akan tetapi juga menjalankan fungsi ekonomi dan politik,ketiga yaitu demokrasi pancasila sebagai tonggak keberhasilan diselenggarakannya pemilu,walaupun pada prosesnya tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu pemilihan umum yang demkoratis,yang keempat yaitu masa reformasi yang dianggap sebagai gejolak perubahan rezim yang menjatuhkan orde baru,banyaknya tekanan yang menyerang kekuasaan otoriter sehingga pada tahun 1998 orde baru di jatuhkan dan digantikan dengan masa reformasi.jadi dari berbagai perubahan masa,bukan untuk menjatuhkan satu sama lain akan tetapi sebagai perbandingan pelaksanaan demokrasi,sehingga diharapkan untuk ke depannya menjadi koreksi dalam jalannya suatu pemerintahan untuk menjadikan Indonesia menjadi lebih baik.
Demokrasi di indonesia mengalami banyak tantangan antara lain perkembangan kelompok radikal yang terjadi di indonesia,dari sekian banyak kelompok radikal itu adalah teroris yang menjadi masalah di indonesia, selain itu pula adanya kepicikan daerah,adanya otomomi daerah mendorong wilayah di indonesia untuk mengembangkan potensi daerah untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat sekitarnya sehingga dengan adanya pelimpahan itu mengakibatkan wilayah merasa bahwa mereka bisa berdiri sendiri, sehingga menimbulkan sifat sparatisme daerah.
 Adanya ketidakadilan yang didapatkan masyarakat adalah salah satu tantangan dari demokrasi karena adanya kebebasan itu mengakibatkan masyarakat berbuat sewenang-wenang tanpa memperhatikan masyarakat sekitarnya.  
Selain itu tantangan yang dihadapi adalah pasar bebas yang sedang marak di Indonesia saat ini, selain mempengaruhi demokrasi juga memunculkan banyak kaum kapitalis dan berpengaruh terhadap perekonomian,yaitu banyak produk luar yang masuk sehingga dapat menenggelamkan produk dalam negeri, sehingga berpengaruh terhadap usaha lokal.
Globalisasi juga sangat berpengaruh terhadap demokrasi dan merupakan salah satu tantangan dari demokrasi karena adanya dorongan dari berbagai wilayah di belahan dunia yang mempengaruhi demokrasi. Jadi dengan mengurangi tantangan itu kita dapat melaksanakan demokrasi dengan baik.
 Oleh karena itu, dengan memahami berbagai perkembangan demokrasi di Indonesia dengan melihat masa-masa dan tantangan yang sudah dilewati, maka muncul berbagai sejarah yang diciptakan melalui demokrasi ini, sebagai masyarakat Indonesia yang melaksanakan demokrasi, kita harus dapat meminimalisir berbagai kemungkinan yang terjadi dan merubah tantangan diatas sebagai peluang agar demokrasi di Indonesia dapat dijalankan seseuai keinginan rakyat dan dapat pula menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik.

Referensi
-          Budiardjo,miriam.2008.dasar-dasar ilmu politik.Jakarta:PT Gramedia.
-          Soenarso,dkk.2006.pendidikan kewarganegaraan untuk perguruan tinggi.Yogyakarta:UNY press.
-          Titus, umbu Jr,“masa depan dan tantangan demokrasi Indonesia”, dalam “,http://maribelajarnulis.blogspot.com/2010/07/masa-depan-dan-tantangan-demokrasi.html , dibuka pada tanggal 16 november 2011.

Jumat, 30 Desember 2011

‘Untuk mereka yang tak pernah menengok kebelakang’


Suatu ketika seorang ibu setengah baya bicara,  korusi dilakukan itu oleh orang yang tak pernah menunduk, tak punya rasa malu apalagi menyempatkan diri untuk menengok ke belakang. Sebenarnya mereka tak tau apa yang ada dibawah jika ia menunduk ,duri-duri yang runcing, api panas yang melebihi 1000 kali panas yang paling panas dibumi, tombak yang siap menusuk tubuh, dan pasukan Tuhan yang siap menyiksa. mereka belum merasakan,kita pun sebagai umat Tuhan pun juga tak tahu.dan mereka pun harus menyempatkan 2 detik saja untuk elihat apa yang sebenarnya ada di belakang, mulut-mulut kecil yang kelaparan, rumah-rumah reot yang sebenarnya menginginkn bantuan . tak hayal lagi mereka hanya mampu berjalan dengan arah kedepan dan mengangkat tinggi-tinggi dahi mereka seakan menjemput impian untuk jalan-jalan ke luar ngeri, memiliki mobil mewah, rumah mewah, istri yang cantik, keluarga yang bahagia dengan limpahan harta, tapi entah lah apakah mereka memikirkan biaya yang mereka keluarkan itu?apakah keluarganya tau kalau sebenarnya uang itu merupakan uang rakyat cilik yang miskin, tak tahu malu memang kalau mereka sebenarrnya tahu, tapi mereka terkadang berpura –pura tidak tahu, hingga masanya ketauan mereka pun masih beralibi tidak tahu dengan berpura pura sakit lupa, sungguh lucu negeri ini jika dipenuhi manusia seperti itu,mau jadi apa jika Negara ini terserang penyakit lupa. Ilmu untuk menghelak semakin berkebang melebihi perkembangan ilmu pengetahuan, coba kita pikirkan jika ada perkembangan ilmu atau teknik yang menemukan alat untuk medeteksi korupsi bagi pejabat, tapi sayangnya yang berkembang hanya ilmu untuk menghindari kecurangan yang diperbuatnya, mungkin dengan berdalih sakit, kabur ke luar negeri, berpindah jabatan untuk menutupi kedoknya, sakit lupa ingatan, bahkan jikalau nanti kehabisan akal mungkin sakit diare pun akan dijadikan alasan untuk mangkir dari peradilan, sungguh hebat mereka sekolh tinggi-tinggi tapi hanya bisa mencuptakan kreativitas untuk mangkir dari dakwaan. Hebat buka manusia-manusia ini,
sebenarnya satu menit, mungkin terlalu lama, satu detik saja untuk saja untuk menunduk mersakan bagaimana keadaan yang ada dibawah, keiskinan, bencana yang perlu penanganan, kelaparan dan bahkan punahnya rasa solidaritas anatr sesama, korupsi yang menyisakan kemiskinan akibat manusia yang tak mampu menengok kehidupan dibelakang.

Purbalingga, 28 desember 2011
Nureni

Sabtu, 18 Juni 2011

stop Kekerasan !!!

awalnya biasa saja kalo mendengar KDRT,soalnya itu mungkin aku denger or baca aja di TV atau  koran.nah biasa itu terjadi di kota nan jauh disana,*ituu dulu jaman jaman masih kecil ,,nah karena apa,?karena pada hakekatnya saya tidak pernah melihat secara langsung,dan bahkan jarang sekali yang mengalami seperti itu di desa, kehidupan di desa itu sebenernya yang sangat nyaman,walaIu sederhana tapi orang orangnya SETIA terhadap pasangan masing masing,keadaan  sulit apapun mereka hadapi bersama.tak ada prestis yang menonjol dalam kehidupan mereka gak kaya di kota kota besar yg kehidupannya kolot  dihantui prestis,gengsi dan hedonis@tergantung manusiannya..*berdasarkan yang saya lihat..nah sedikit menculik dr kehidupan  manusianih,banyak  yang cerai,skandal,perseingkuhan secara terang terangan,dan bahkan KDRT itu sudah menjadi kebiasaan..
seculik dari kehidupan manusia,ada hal yag membuat saya menjadi semangat untuk menyuaraakan aksi STOP KDRT !!sedih rasanya melihat korban2 kekerasan,terutama kalo liat perempuan,,nah rasanya ikut merasakan bagaimana mereka menjalani hari hari yang dihantui kekerasan .padahal undang-undang No. 23 tahun 2004, adalah ; “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (vide, pasal 1 ayat 1 ).nah ini yang seharusnya menjadi perlindungan para kita sebagai wanita yang dilindungi oleh negara...jadi tetap semnagat menjalani hidup untuk kita dan bahkan mereka yang pernah mengalami kekerasan !

Kamis, 26 Mei 2011

memang jika orang sedang dilanda masalah pasti keputusan yang diambil juga tak tepat dan selalu tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan,kita selalu berpikir saat itu juga tidak untuk berfikir kedepan.penyebab masalah itu sebenarnya karena masalah yang sebelumnya tak terselesaikan.
ALURNYA:
masalah lama  datang kembali--->penyelesaiannya selalu sama dengan membiarkan beberapa hari seakan  masalah itu hilang,padahal sesungguhnya masalah itu tak terselesaiakan-->keadaan kembai seperti semula dan seperti biasanyaa--->dan lagi lag ialur itu pun berputar lagi dengan munculnya masalah yang sama lagi ---> dan akhirnya keptusan yang diambil pula tak tepat dengan apa  yang diharapkan..tak memikirkan bgaimana aku dan bagaimana dia..tapi semua itu sudah terjadi.dan MAAFKAN AKU!!! semua untuk kenangan... :'(

Rabu, 25 Mei 2011

MAKALAH SOSIOLOGI


2011
SRATIFIKASI SOSIAL
  1. Pendahuluan
Masyarakat manusia terdiri dari beragam kelompok-kelompok orang yang ciri-ciri pembedanya bisa berupa warna kulit, tinggi badan, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, kepercayaan agama atau politik, pendapatan atau pendidikan. Pembedaan ini sering kali dilakukan bahkan mungkin diperlukan.
Semua manusia dilahirkan sama seperti yang selama ini kita tahu, melalui pendapat para orang-orang bijak dan orang tua kita atau bahkan orang terdekat kita. Pendapat demikian ternyata tidak lebih dari omong kosong belaka yang selalu ditanamkan kepada setiap orang entah untuk apa mereka selalu menanamkan hal ini kepada kita.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kenyataan itu adalah ketidaksamaan. Beberapa pendapat sosiologis  mengatakan dalam semua masyarakat dijumpai ketidaksamaan di berbagai bidang misalnya saja dalam dimensi ekonomi: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekayaan yang berlimpah dan kesejahteraan hidupnya terjamin, sedangkan sisanya miskin dan hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. Dalam dimensi yang lain misalnya kekuasaan: sebagian orang mempunyai kekuasaan, sedangkan yang lain dikuasai. Suka atau tidak suka inilah realitas masyarakat, setidaknya realitas yang hanya bisa ditangkap oleh panca indera dan kemampuan berpikir manusia. Pembedaan anggota masyarakat ini dalam sosiologi dinamakan startifikasi sosial.
Definisi stratifikasi sosial

1.      Stratifikasi sosial adalah demensi vertical dari struktur social masyarakat, dalam artian melihat perbedaan masyarakat berdasarkan pelapisan yang ada, apakah berlapis-lapis secara vertical dan apakah pelapisan tersebut terbuka atau tertutup.
2.      Soerjono Soekanto (1981::133), menyatakan social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau system berlapis-lapis dalam masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan konsep sosiologi, dalam artian kita tidak akan menemukan masyararakat seperti kue lapis; tetapi pelapisan adalah suatu konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara vertical menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan criteria tertentu.
3.      Paul B Horton dan Chester L Hunt ( 1992: 5 ) menyatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan system peringkat status dalam masyarakat. Peringkat memberitahukan kepada kita adanya demensi vertical dalam status social yang ada dalam masyarakat.
Kriteria apa saja yang dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan demensi secara vertical ini. Paul B Horton ( 1982 : 4) mengatakan bahwa Dua ribu tahun yang lalu Aristoteles mengemukakan bahwa penduduk dapat dibagi ke dalam tiga golongan: golongan sangat kaya, golongan sangat miskin dan golongan yang berada diantara mereka. Menurut Karl Marx, kelas social utama terdiri atas golongan proletariat, golongan kapitalis (borjuis) dan golongan menengah (borjuis rendah).
Pendapat di atas merupakan suatu penggambaran bahwa stratifikasi sosial sebagai gejala yang universal, artinya dalam setiap masyarakat bagaimanapun juga keberadaanya pasti akan di dapatkan pelapisan social tersebut. Apa yang dikemukakan Aristoteles. Karl Marx adalah salah satu bukti adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat yang sederhana sekalipun. Kriteria jenis kekayaan dan juga profesi pekerjaan merupakan criteria yang sederhana, sekaligus menyatakan bahwa dalam masyarakat kita tidak akan menemukan masyarakat tanpa kelas.
Perkembangan masyarakat selanjutnya menuju masyarakat yang semakin modern dan kompleks, stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyarakat akan semakin banyak. Mengapa terjadi stratisikasi social uraian berikut ini akan menjelaskannya.
4.      Menurut Soerjono Sokanto ( 1981 : 133) Selama dalam suatu masyatrakat ada sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menimbulkan adanya system berlapis-lapis yang ada dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat.
5.      Terjadinya stratifikasi sosial dalam masyarakat dikarenakan sesuatu yang dihargai dalam masyarakat jumlahnya terbatas, akibatnya distribusinya di dalam masyarakat tidaklah merata. Mereka yang memperoleh banyak menduduki kelas atas dan mereka yang tidak memperoleh menduduki kelas bawah. Barang sesuatu yang dihargai tersebut menurut Paul B Horton dan Chester L Hunt ( 1989: 7- 12)
Seringkali dalam pengalaman sehari-hari kita melihat fenomena sosial seperti seseorang yang tadinya mempunyai status tertentu di kemudian hari memperoleh status yang lebih tinggi dari pada status sebelumnya. Hal demikian disebut mobilitas sosial. Sistem Stratifikasi menuruf sifatnya dapat digolongkan menjadi straifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup, contoh yang disebutkan diatas tadi merupakan contoh dari stratifikasi terbuka dimana mobilitas sosial dimungkinkan.
Suatu sistem stratifikasi dinamakan tertutup manakala setiap anggota masyarakat tetap pada status yang sama dengan orang tuanya, sedangkan dinamakan terbuka karena setiap anggota masyarakat menduduki status berbeda dengan orang tuanya, bisa lebih tinggi atau lebih rendah.
Mobilitas Sosial yang disebut tadi berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial. Banyak sebab yang dapat memungkinkan individu atau kelompok berpindah status, pendidikan dan pekerjaan misalnya adalah salah satu faktor yang mungkin dapat meyebabkan perpindahan status ini. Masih banyak sebab-sebab lain dalam mobilitas sosial ini, namun yang menjadi pertanyaan saya adalah kondisi dan atas dasar apa individu maupun kelompok melakukan perpindahan status ini? Tetapi biarlah pertanyaan ini tetap menjadi pertanyaan.
 “ Historically four basic systems of stratification have existed in human societies: slavery, caste, estates and class ” .
Stratifikasi sosial digunakan untuk menunjukan ketidaksamaan dalam masyarakat manusia. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa banyak dimensi dalam stratifikasi sosial akan tetapi tidak semua dimensi akan ditulis dalam makalah ini mengingat keterbatasan pengetahuan saya soal hal ini. Namun beberapa stratifikasi yang menurut saya penting akan saya tuliskan. Pertama, perbudakan seperti yang kita tahu pada sistem seperti ini masyarakat di bagi menjadi dua pemilik budak dan budak. Dimana seseorang atau kelompok orang dimiliki sebagai hak milik seseorang. Namun hal ini sudah lama tidak berlaku lagi saat ini. Salah satu penyebab adanyanya budak adalah perang. Dimana pihak yang kalah kemudian dijadikan tawanan kerja paksa.. Kedua, kasta hal ini berhubungan dengan kepercayaan bansa India dimana mereka percaya terhadap reinkarnasi bahwa manusia akan dilahirkan kembali, dan setiap orang wajib menjalani hidupnya sesuai dengan kastanya, dan bagi mereka yang tidak menjalankan kewajiban sesuai kastanya maka dalam kehidupan mendatang akan dilahirkan kembali didalam kasta yang lebih rendah. Setiap orang dalam sistem kasta ini mendapatkan tingkatan kastanya berdasarkan kasta keluarga mereka. Namun yang masih belum jelas disini adalah atas dasar apa dan darimana keluarga mereka mendapatkan kedudukan dalam kasta tersebut? Ketiga, Estates hal ini erat hubungannya dengan sistem Feodal dimana kedudukan seseorang dinilai dari seberapa banyak dia memiliki tanah. Tanah ini merupakan hadiah atau penghargaan untuk para raja-raja bangsawaan atas dukungannya terhadap raja. Keempat, kelas ialah pembagian masyarakat atas dasar kemampuan ekonomi yang tercermin dalam gaya hidupnya.
Perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat sejak jaman perbudakan sampai revolusi industri hingga sekarang secara mendasar dan menyeluruh telah memperlihatakan pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka diferensiasi sosial yang tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horizontal maupun vertical. Hal ini telah menarik para perintis sosiologi awal untuk memperhatikan diferensiasi sosial, yang termasuk juga stratifikasi sosial. Perbedaan yang terlihat di dalam masyarakat ternyata juga memiliki berbagai macam implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Status yang diperoleh kemudian menjadi kunci akses kesegala macam hak-hak istimewa dalam masyarakat yang pada dasarnya hak istimewa tersebut merupakan hasil dari rampasan dan penguasaan secara paksa oleh yang satu terhadap yang lainya, mendominasi dan didominasi, yang pada akhirnya merupakan sumber dari ketidaksamaan di dalam masyarakat. Berbagai macam argumentasi pun diajukan guna menjelaskan ketidaksamaan ini yang kemudian berubah menjadi ketidakadilan.

Kelas dan Stratifikasi

Karl Marx

Seseorang  yang mengguncangkan dunia dengan analisisnya yang tajam dan akurat tentang keadaan manusia di era kapitalisme. Pembedahan atas situasi ekonomi dan politik yang dilakukannya dalam kondisi pelarian politik dan kematian tragis anak-anaknya. Tak ada ungkapan yang tepat selain revolusioner baginya.  Lahir di Jerman pada tanggal 5 mei 1818. Semuanya berawal ketika ia kuliah di di Berlin, dari sini lah seorang pelarian politik di kemudian hari ini memberi inspirasi kepada jutaan umat manusia untuk mengemansipasi dirinya lewat perjuangan kelas akibat ketertindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para kapitalis.
Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan bahwa pelaku-pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Salah satu kesulitan dalam teori kelasnya Marx adalah meskipun Marx sering berbicara tentang kelas-kelas sosial, namun ia tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah “kelas”. Ada baiknya kita ambil saja salah satu definisi tentang kelas dari seorang marxis sekaligus  pemimpin revolusi Bolshevik 1917 yang termahsyur, Lenin mendefinisikan kelas sebagai berikut:

“Classes are large groups of people differing from each other by the place they occupy in a historically determined system of social production, by their relation (in most cases fixed and formulated in law) to the means of production, by their role in the social organisation of labour, and, consequently, by the dimensions and mode of acquiring the share of social wealth of which they dispose. Classes are groups of people one of which can appropriate the labour of another owing to the different places they occupy in a definite system of social economy“.

Inilah definisi kelas khas kaum marxis. Kelas-kelas sosial pun dibedakan menjadi berdasarkan posisinya dalam produksi,  menurut mereka:

“kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas adalah posisi yang mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya menentukan relasi mereka terhadap alat-alat produksi”.

Relasi dimana kelas-kelas menempati posisi atas alat produksi menentukan peran mereka dalam organisasi sosial kerja, sebab kelas-kelas memiliki fungsi-fungsi yang berbeda dalam produksi sosial. Dalam masyarakat antagonis beberapa kelas mengatur produksi, mengatur perekonomian dan mengatur seluruh urusan-urusan sosial, misalnya mereka yang memiliki keunggulan dalam kerja mental. Sementara kelas-kelas lainnya menderita di bawah beban kewajiban kerja fisik yang berat. Biasanya, dalam masyarakat yang tebagi atas kelas-kelas, manajemen produksi dijalankan oleh kelas yang memiliki alat produksi. Namun segera setelah beberapa relasi produksi menjadi sebuah halangan bagi perkembangan tenaga-tenaga produktif, kelas-kelas penguasa pun harus mulai memainkan peran yang berbeda dalam organisasi sosial kerja. Ia berangsur-angsur kehilangan signifikansinya sebagai organisator produksi, dan merosot posisisnya menjadi sebuah sampah parasitis dalam tubuh masyarakat dan hidup atas kerja keras orang lain. Seperti pada nasib tuan tanah feodal dulu, hal inilah yang dialami oleh para borjuasi atau kapitalis kini. Menurut Marx kehancuran feodalisme dan lahirnya kapitalisme telah membuat terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang sifatnya antagonistis, yaitu kelas borjuis yang memiliki alat produksi dan kelas proletar yang tidak mempunyai alat produksi. Dua kelas inilah yang dalam terminologi marxis disebut kelas fundamental karena sifatnya yang tak terdamaikan atau antagonis. Penghancuran atas salah satunya merupakan gerak sejarah yang di manifestasikan lewat perjuangan kelas.
 Marx membuktikan bahwa masyarakat kapitalis adalah masyarakat terakhir dalam sejarah manusia dengan kelas-kelas antagonistisnya. Jalan yang mengarahkan kepada masyarakat tanpa kelas terletak pada perjuangan kelas proletariat melawan segala bentuk penindasan, demi membangun kekuatannya dalam masyarakat yang diciptakan untuk melindungi kepentingan rakyat pekerja.
Marx memandang kelas pekerja sebagai kekuatan sosial utama di jaman kapitalisme yang memiliki kemampuan untuk mengeleminasi sistem kapitalis dan menciptakan sebuah masyarakat baru tanpa kelas yang terbebas dari eksploitasi.


Asal Mula Kelas.

Dalam hukum perkembangan masyarakat Marx berdasarkan salah satu jarannya tentang materialisme histories, Pada awalnya tidak ada kelas dalam masyarakat yaitu pada jaman komunal primitif. Pada jaman ini, orang harus saling toltong menolong dalam rangka terus bertahan hidup dan melindungi diri berbagai macam binatang pemangsa. Hal ini memaksa orang harus tinggal menetap, untuk bertahan hidup manusia saat itu berburu hewan, mengumpulkan makanan (tanaman dan buah-buahan) yang dapat dimakan bersama. Tempat tinggal mereka pun dibedakan, dan menjadi pembeda antara   kelompok manusia yang satu atas yang lainnya. Berbagai macam keterampilan, bahasa muncul. Semua hal ini diidetifikasikan sebagai suku atau klan.
Pada saaat ini kerja awalnya dibedakan anatara laki-laki dan perempuan, lalu dibedakan atas dasar kelompok-kelompok usia yang berbeda. Lalu berkembang pada kakhasan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh komunitas penanam, peternak dan pemburu. Pembagian kerja merupakan hak prerogatif dari anggota komunitas yang tertua dan paling berpengalaman. Namun demikian, mereka tidaklah dianggap sebagai kelas yang memiliki privilese istimewa karena jumlah mereka yang sedikit jika dibandingkan dengan mayoritas dewasa  dikomunitas disamping hak mereka didapat melalui persetujuan dari mayoritas dewasa. Posisi khusus mereka terletak pada otoritasnya, nukan pada kepemilikan properti atau kekuatan mereka. Pada jaman ini produksi yang dihasilkan orang dibuat hanya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan langsung, jadi tidak terdapat lahan untuk mengakarnya ketidakadilan sosial.
Setelah jaman komunal primitif berangsur-angsur pudar, banyak hal yang menjadi penyebab hal ini terjadi, selain keharusan sejarah. Berakhirnya jaman ini tidak terjadi secara berbarengan berbagai daerah didunia ini sebgai contoh negara-negara Afrika, formasi kelas-kelas baru mulai terbentuk setelah rejim-rejim kolonial tresingkirkan, yaitu sejak tahun 1950-an sedangkan kelas di Mesir Kuno pada akhir milenium ke-4 dan di awal milenium ke-3 sebelum masehi.
Kemunculan kelas-kelas sosial ini terjadi akibat dari pembagian kerja secara sosial, disaat kepemilikan pribadi atas alat produksi menjadi sebuah kenyataan. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah kepemilikan atas alat produksi. Seperti yang selalu dia  katakan dalam berbagai tulisannya, pembagian kerja yang merupakan sumber ketidakadilan sosial timbul saat memudarnya masyarakat komunal primitif.

“Salah satu dari pra kondisi yang paling general dari kehadiran masyarakat yang terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Dalam perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi yang bergerak jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan hidupnya. Jadi surplus produk memberikan kepada umat manusia lebih dari yang dibutuhkannya, dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat. 

Bersamaan dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi yang menguasai perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan produksi individu atau keluarga telah menghapuska produksi komunal sebelumnya, ketidak adilan ekonomi menjadi tidak terhindarkan lagi dan hal ini mengkondisikan masyarakat ke dalam kelas-kelas.
Para pemimpin dan tetua komunitas yang mempunyai otoritas dalam komuntas untuk melindungi kepentingan bersama ini. Temasuk dalam hal pengawasan dan pengambilan putusan yang dianggal adil oleh komunitas. Hal demikian juga dapat kita sebut sebagai kekuasaan negara elementer, namun pada dasarnya mereka tidak pernah berhenti mengabdi pada komunitas.
Perkembangan tenaga-tenaga produktif dan penggabungan komunitas-komunitas tersebut kedalam entitas yang lebih besar mengarah pada pembagian kerja lebih lanjut. Dalam perkembangnya terbentuklah badan-badan khusus yang berfungsi untuk melindungi kepentingan bersama serta juri dalam perselisihan antar komunitas. Secara bertahap badan-badan ini mendapat otonomi yang semakin besar dan memisahkan dirinya dari masyarakat sekaligus merepresentasikan kepentingan kelompok sosial utama. Otonomi ini dari pejabat urusan publik berubah menjadi bentuk dominasi terhadap masyarakat yang membentuknya, dulunya abdi publik sekarang para pejabat itu berubah menjadi tuan-tuan (lords).

“Pada umumnya, perkembangan produksi sosial menuntut adanya tenaga kerja manusia yang lebih banyak guna terlibat dalam produksi material. Tidak ada komunitas yang sanggup mnyediakan hal itu sendiri, dan tenaga kerja manusia tambahan disediakan oleh peperangan” 
Cara lain pembentukan kelas adalah melalui pembudakan terhadap bala tentara musuh yang tertangkap saat perang. Para peserta perang mulai menyadari bahwa lebih bermanfaaat untuk membiarkan para tawanan mereka terus hidup dan memaksa mereka unutuk bekerja. Jadi hak-hak mereka sebagai manusia dicabut dan  diperlakukan tak ubahnya seperti binatang pekerja.

Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, kita akan mengenal kelas-kelas yang salingbbertentangan. Hal ini disebabkan karena kepentingan mereka selalu tidak dapat diketemukan. Dalam terminologi marxis kita akan mengenal bahwa kelas di bedakan menjadi dua macam bentuk dan sifatnya yaitu kelas-kelas fundamental dan kelas-kelas non fundamental.
Kelas-kelas fundamental adalah kelas-kelas yang keberadaannya ditentukan oleh corak produksi yang mendominasi dalam formasi sosial ekonomi tertentu. Setiap formasi sosial ekonomi yang antagonistis memilki dua kelas fundamental. Kelas-kelas ini bisa berupa pemilik budak dan budak, tuan feudal dan hambanya, ataupaun borjuasi dan proletar. Kontradiksi-kontradiksi antagonistis diantara kelas-kelas tersebut berubah oleh penggantian sistem yang berlaku dengan sebuah sistem baru yang progresif.
Kelas-kelas non fundamental adalah bekas-bekas atau sisa-sisa dari kelas dalam sistem yang lama dan masih bisa dilihat dalam sistem yang baru, biasanya kelas ini menumbuhkan corak produksi yang baru dalam bentuk struktur ekonomi yang spesifik. Sebagai contoh para pedagang, lintah darat, petani-petani kecil yang terdapat dalam masyarakat kepemilikan budak dengan kelas yang fundamental pemilik budak dan budak.
Kelas-kelas fundamental dan non fundamental saling bergantung secara erat, karena dalam perkembangan sejarahnya, kelas fundamental bisa menjadi non fundamental, dan demikian pula sebaliknya. Sebuah kels fundamental merosot menjadi sebuah kelas non fundamental saaat corak produksi yang dominan yang mendasarinya secara bertahap berubah menjadi sebuah struktur sosial ekonomi yang sekunder. Sebuah kelas non fundamental menjadi fundamental saat sebuah struktur sosial ekonomi baru yang terdapat di dalam sebuah formasi sosial ekonomi berubah menjadi corak produksi yang dominan.
Masyarakat juga bisa memiliki lapisan orang-orang yang tidak termasuk ke dalam kelas-kelas tertentu, yaitu elemen-elemen tak berkelas  yang telah kehilangan ikatan-ikatan dengan kelas asalnya. Hal ini berlaku bagi lumpen-lumpen kapitalisme yang terdiri atas orang-orang tanpa pekerjaan tertentu atau yang biasa disebut sebagai sampah-sampah masyarakat, seperti pengemis, pelacur, pencuri dan sejenisnya.
Selain kelas, terdapat kelompok sosial besar lain yang garis pembatasnya terletak pada latar yang berbeda dengan latar-latar pembagian kelas, ia munkin saja didasrkan pada usia, jenis kelamin, ras, profesi, kebangsaaan, dan pembeda lainnya.

Menurut Weber , stratifikasi sosial tidak sesederhana demikian hingga dapat dijelaskan lewat kelas, ia menambahkan dalam uraiannya tentang kekuasaan dalam masyarakat bahwa pembedaan masyarakat dapat dilihat melalui kelompok status, partai dan kelas.
Kelas menurut Weber adalah sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances). Peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat dari dipunyainya persamaan untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh penghasilan tertentu, mka orang yang berada di kelas yang sama mempunyai persamaan yang dinamakan situasi kelas.
Situasi kelas adalah persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup. Kategori dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya, dan faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini konsep kelas Marx dan Weber adalah sama, yaitu pembedaan kelas dan faktor yang mendorong terciptanya kelas.
Dimensi lain yang digunakan weber adalah ialah dimensi kehormatan. Manusia dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok status merupakan orang yang berada dalam situasi status yang sama,  dimana orang yang peluang hidupnya ditentukan oleh ukuran kehormatan, coba lihat pembedaan sultan dan abdi dalem yang ada di Yogyakarta. Persamaan kehormatan status dinyatakan dalm persamaan gaya hidup. Dalam bidang pergaulan hal ini dapat berupa pembatasan dalam pergaulan dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain danya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai oleh adanya hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Dalam hal gaya hidup, hal ini bisa kita lihat dari gaya konsumsi.
Disamping pembedaan lewat dimensi ekonomi dan kehormatan Weber menambakan bahwa masyarakat juga dibeda-bedakan berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan menurut Weber adalah peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu. Bentuk dari tindakan komunal ini adalah partai yang diorientasikan pada diperolehnya kekuasaan.


Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
1.      Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, pa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
2.      Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

3.      Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.


4.      Ukuran ilmu pengetahuan

Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.



Macam-Macam / Jenis-Jenis Stratifikasi Sosial
1.      Stratifikasi Sosial Tertutup
Stratifikasi tertutup adalah stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah. stratifikasi ini melalui kelahiran atau keturunan
Contoh stratifikasi sosial tertutup yaitu seperti sistem kasta di India dan Bali serta di Jawa ada golongan darah biru dan golongan rakyat biasa. Tidak mungkin anak keturunan orang biasa seperti petani miskin bisa menjadi keturunan ningrat / bangsawan darah biru. Satu-satunya jalan untuk masuk dalam. Wujud nyata dari stratifikasi ini adalah sistem kasta di Bali. Kaum Sudra tidak dapat pindah posisi ke lapisan Brahmana. Atau masyarakat rasialis, kulit hitam (Negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.
2.      Stratifikasi Sosial Terbuka
Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horizontal. Pada umumnya, sistem pelapisan ini, memberikan kesempatan kepada setiap anggota untuk naik ke strata yang lebih tinggi, atau turun ke strata
yang lebih rendah. Selain itu, sistem pelapisan terbuka memberikan perangsang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat.
Misalnya seperti tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran / penghasilan yang tinggi.
3.           Stratifikasi Campuran
Stratifikasi campuran diartikan sebagai sistem stratifikasi yang membatasi kemungkinan berpindah strata pada bidang tertentu, tetapi membiarkan untuk melakukan perpindahan lapisan pada bidang lain. Contoh: seorang raden yang mempunyai kedudukan terhormat di tanah Jawa, namun karena sesuatu hal ia pindah ke
Jakarta dan menjadi buruh. Keadaan itu menjadikannya memiliki kedudukan rendah maka ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.

Bentuk Stratifikasi: Kasta, Estate dan Kelas Sosial

Anggapan masyarakat modern secara refleks, bahwa tahap-tahap dalam pembangunan, pekerjaan dalam organisasi dan pekerjaan berhubungan dengan struktur sosial masyarakat setempat yang mana memberikan kerangka substansial yang terdiri dari individu-individu, kelompok dan institusi dimana mereka hidup. Permasalahan utama dalam masyarakat yang sering kali dilihat dan banyak mendapat perhatian adalah kelas sosial (social class), ketidakseimbangan (Inequality) dan perubahan sosial (social change). Konsep kelas muncul untuk mengidentifikasi individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang membedakannya dalam mendapatkan fasilitas kesehatan, ekonomi, kesejahteraan.
 Menurut Sanderson, sistem stratifikasi sosial berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya memiliki kekuasaan, hak-hak istimewa, dan pretise yang tidak sama pula. Sistem stratifikasi sosial ada tiga yakni caste, estate dan class system.

Sistem Kasta
Sistem kasta memilki karakteristik sistem kelas yang horizontal (strata) yang merefresentasikan area-area fungsional yang terdapat dalam masyarakat. Area-area tersebut meliputi religi (agama), pendidikan, pemerintahan dan bisnis. Masing-masing area kemudian disusun berdasarkan atas tingkat kepentingan fungsional dalam masyarakatnya. Penentuan urutan tersebut terkadang merupakan hasil dari perjuangan kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat dan terkadang merupakan hasil penaklukan dari kelompok yang berada di luar masyarakat. Dalam kedua kasus tersebut, sistem distabilkan melalui nilai-nilai dalam masyarakat. Konsep kasta merupakan gejala khas masyarakat feodal, sedangkan kelas tersebut adalah gejala masyarakat pasca-feodal (postkolonial). Sebagai daerah bekas pendudukan Hindu yang bersifat feodalisme, Indonesia masih memiliki ciri dan karakteristik masyarakat yang berbentuk kasta.
Istilah Kasta umumnya berkenaan dengan bentuk kaku dari stratifikasi sosial masyarakat yang ditandai dengan adanya strata edomogamus (dalam perkawinan), yang mempraktekkan penolakan terhadap sesama dan tidak memungkinkan terjadinya mobilitas. Menurut McCord, sistem kasta atau sistem yang mirip dengannya mulai ada pada masyarakat Hindu di India sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam ideolgi Hindu India ini setiap hubungan dengan kasta lain (apalagi yang dibawahnya) adalah sesuatu yang terlarang.
Sistem kasta yang masih kental di dunia dapat kita lihat masih ada dalam sistem kemasyarakatan, khususnya di India. Sistem kasta Hindu merupakan bentuk rumit dan kaku dari stratifikasi sosial di dunia ini. Sistem ini kemungkinan juga merupakan fenomena sosial yang paling sedikit dimengerti dalam ilmu sosial. Kasta disini seringkali mirip dengan “klan” jenis kolektif yan lebih lama yang mengasumsikan sebuah fungsi dari asosiasi. Di India, sebenarnya ada lima kasta (satu kelompok sering kali disebut sebagai kelompok yang tidak memiliki kasta) yang berkembang, namun seiring dengan adanya doktrin tradisional yang sering disebut dengan kasta hanya empat yakni Kasta Brahmana (Pendeta), Ksatrya (keluarga raja dan pemimpin kerajaan), Waisya terdiri dari golongan pedagang dan Kasta Sudra yakni para petani, sedangkan Kasta yang tidak memiliki “Kasta” dinamakan dengan sebutan Hariyan. Kasta Sudra memiliki tempat rendah dan dianggap sebagai kasta yang kotor oleh golongan kasta yang ada diatasnya. Dalam Weda, konsep sebenarnya tidak ada, ini hanya merupakan sebuah akal-akalan atau siasat dari kaum Brahmana (kaum terpelajar dan hanya yang diijinkan waktu itu untuk membaca kitab suci atau mendapatkan pendidikan) untuk mempresentasikan dirinya sebagai kasta tertinggi, sedangkan sisanya memiliki kasta yang lebih atau agak dekat dengannya.
Kemunculan kelas kasta ini sebagai bentuk kolaborasi antar pendeta (rohaniawan) yang dalam hal ini sebagai kelas yang dominan dengan tuan tanah (mencengkramkan feodalisme) untuk mengembangkan kultur hemogeni sistem kasta yang diselenggarakan dari ajaran Weda, Kitab Suci Agama Hindu. Hegemoni budaya (ideologi yang dominan) ini meenggaris bawahi bahwa tipa-tipa orang dalam masyarakat dilahirkan pada kedudukan (status), struktur sosial dan kasta tertentu sehingga sangat tabu bagi masyarakat untuk melakukan perkawinan antar kasta karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang melanggar aturan, norma dan dinilai sebagai perkawinan kotor atau najis. Sehingga ada kecenderungan terjadi eksploitasi oleh kelas dominan (pendeta) terhadap kelas yang lebih rendah, begitu seterusnya.
Gould menyatakan masyarakat yang umum mengembangkan sistem stratifikasi sosial yang menyerupai kasta adalah masyarakat yang agraris. Masyarakat kasta memiliki ciri-ciri penting sebagai berikut:
1.         tingkat perubahan teknologi relatif lambat
2.        strata sosial, yang umumnya adalah Ksatrya (prajurit) atau Brahmana (pendeta), memiliki pengaruh atau kekuasaan yang besar
3.        heterogenitas kultural, sosial atau rasial. Sistem kasta ini tidak hanya pada bidang-bidang sosial saja, melainkan juga pada bidang-bidang lain terutama ekonomi. Seperti penelitiannya Joan Mecher , penguasaan kasta ternyata pada tingkatan ekonomi, dimana kelas kasta memberi legitimasi kaum penguasa tanah (yang didukung oleh rohaniawan Hindu-merupakan kasta tertinggi di India) merugikan kelas petani yang berkasta lebih rendah. Kasta Heriyan menderita dua kerugian utama yakni, eksploitasi ekonomi dan identitas yang terhina. Hukum-hukum yang melarang praktek eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas tidak memiliki sebuah kekuatan untuk menghalangi praktek-praktek ini. Para Brahmana dari kasta atas memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada kasta yang ada dibawahnya, jika kasta yang dibawahnya mereka anggap melanggar aturan-aturan tradisional masyarakat India.
Secara umum, kasta di mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu:
1.         Keanggotaan pada kasta, diperoleh karena warisan atau kelahiran.
Dengan kata lain, anak yang lahir akan memperoleh kedudukan dari orang tuanya.
2.        Keanggotaan yang diwariskan, berlaku untuk seumur hidup. Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin mengubah kedudukannya, kecuali apabila ia dikeluarkan dari kastanya.
3.        Perkawinan bersifat endogami, artinya seseorang harus menikah dengan orang yang berada dalam satu kasta.
4.         Hubungan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya bersifat terbatas.
5.         Adanya kesadaran pada keanggotaan suatu kasta tertentu. Hal ini terlihat nyata dari nama kasta, identifikasi anggota pada kasta, penyesuaian diri terhadap norma-norma yang berlaku dalam kasta yang bersangkutan, dan lain-lain.
6.         Kasta terikat oleh kedudukan yang secara tradisional telah ditetapkan.
7.         Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan.

Dari hal tersebut Mecher mengambil suatu kesimpulan bahwa dalam masyarakat berkasta, para aristokrat tuan tanah berkolborasi dengan kaum rohaniawan (kasta dominan) untuk mengembangkan kultur hegemoni sistem kasta yang diselenggarakan dari ajaran Weda (Kitab Suci Agama Hindu). Dimana hegemoni budaya (ideologi dominan) “kasta” itu menganggap bahwa tiap-tiap individu dalam masyarakat dan hubungan-hubungan antara kasta yang berbeda (barangkali kasta dibawahnya) dianggap sebagai sebuah hubungan yang bersifat kotor, najis, pantangan dan melanggar etika. Dalam hal ini perkawinan camouran antar kasta merupakan sesuatu yang harus dihindari, sehingga dengan perkataan lain hubungan sosial dalam kasta diatur sedemikian rupa. Cara berbahasa, gerak tubuh dan bersikap diatur sedemikian rupa. Bahkan di kadangkala pakaian dan tata cara menggenakan busana pun diatur sedemikian rupa, pakaian yang dikenakan menunjukkan kelas staus seseorang dari kasta mana ia berasal. Sehingga keadaan ini memberikan sebuah kesempatan kepada kasta lebih atas untuk mendominasi kehidupana kasta dibawahnya dengan jalan eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas diri.
Telah dikemukakan di atas bahwa sistem stratifikasi sosial dalam hal ini kasta, sebagai suatu wujud sistem masyarakat dengan pelapisan sosial tertutup, tidak ada yang mutlak tertutup dari suatu gerak sosial (mobilitas). Salah satu bentuknya adalah perkawinan. Telah jauh sebelumnya pada masyarakat di India, dikatakan sebagai suatu hal yang najis untuk berhubungan dengan individu yang berbeda kasta, perkawinan antar kasta menjadi dilarang. Begitu juga hal pada masyarakat Bali.
Bagi masyarakat Bali perkawinan adalah suatu rangkaian kehidupan yang amat penting bagi mereka. Tahapan-tahapan kehidupan masyarakat Bali telah diatur dalam suatu konsep “jalan kehidupan”, mulai datri masa menuntut ilmu (Brahmacari), masa membina rumah tangga dan masa mengasingkan diri kepada Tuhan. Konsep ini sudah tertanam pada masyarakat Bali. Sebenarnya ada tiga upacara besar dalam masyarakat Bali yakni Perkawinan, Kematian (ngaben) dan upacara-upacara agama. Ngurah Bagus menyatakan bahwa berdasarkan adat lama yang masih kental dengan sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), sedapat mungkin perkawinan yang dilakukan oleh seorang pemuda dan pemudi yang masih memiliki kesamaan klen dan tidak diperbolehkan dengan orang-orang yang dianggap memiliki derajt lebih tinggi dalam kastanya. Perkawinan adat Bali bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang masih dicita-citakan oleh masyarakat Bali yang masih bersifat kolot adalah perkawinan antar anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Orang-orang yang masih se-klen (masih dalam satu sanggah, tunggal dadia, tunggal kawitan), merupakan orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama.
Demikian juga halnya dalam kasta pada masyarakat Bali, perkawinan antar kasta sangatlah dijaga agar jangan sampai terjadi. Batasan perkawinan hanya dalam satu klen atau kasta yang segolongan sangatlah kuat dijaga oleh generasi tua dalam masyarakat Bali. Hal ini didasari atas pemikiran mereka bahwa perkawinan antar kasta atau klen akan mengakibatkan terjadinya ketegangan-ketegangan atau noda-noda dalam keluarga. Dala hal ini teruatam harus dijaga perkawinan dari anak wanita yang memiliki status kasta lebi tingi dengan pemuda yang memiliki kasta lebih rendah. Perkawinan seperti ini membawa malu dan turunnya gengsi kasta dalam masyarakat, maka wanita ini akan dinyatak keluar dari dadia-nya dan secara fisik suami istri akan dibuang (maselong) untuk berapa lama, ke tempat jauh dari asalnya dan tidak diperbolehkn berhubungan dengan masyarakat.
Sistem Estate
Bentuk kedua dari stratifikasi sosial adalah sistem estate yang pada dasarnya juga berdasarkan pada sistem kelas tertutup, tetapi lebih longgar bila dibandingkan dengan sistem kasta. Sistem estate mencapai masa kejayaannya pada masa feodalisme di eropa dan masih digunakan oleh beberapa negara yang tetap mempertahnkan sistem aristokrasi atau kepemilikan tanah secara turun temurun (feodalis Eropa). Istilah ”estate” berasal dari terminologi feodal Eropa.
Seperti sistem kasta, sistem estate didasarkan pada urutan posisi berdasarkan atas stratifikasi fungsional. Bedanya adalah area-area fungsional tersebut dianggap sebagai pelengkap dan sama pentingnya. Dengan kata lain, area militer, religius (agama), pemerintah dan ekonomi dianggap sama pentingnya dalam masyarakat. Oleh karenanya area-area fungsional tersebut dianggap sebagai urutan vertikal dari kekuasaan bukan sebagai sebagai urutan horizontal.
Sistem Kelas
Aristotle menggambarkan bahwa didunia ini ada tiga kelas utama yang menyusun kehidupan dan akan selalu tergambar dalam setiap masyarakatnya, pengkategorian kelas menurut Aristoteles ini berdasarkan atas status sosial yang mereka peroleh dari ukuran ekonomi yaitu seberapa besar kekayaan yang dipunyainya. Ketiga kelas tersebut adalah kelas atas (kelas kaya), kelas bawah (kelas miskin) dan kelas yang ketiga, yang berada diantara kelas kaya dan kelas miskin tersebut yakni kelas menengah. Kelas menengah merupakan kelas yang selama ini membuat kestabilan dalam masyarakat. Kelas menengah ini memiliki posisi penting dalam rangka menjaga kestabilan masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukana oleh Dahrendorf, istilah kelas pertama kali muncul dan diperkenalkan oleh bangsa Romawi dan sepanjang sejarahnya kelas tersebut selalu mengalami pergeseran arti . Awal mulanya digunakan untuk istilah dalam pembayaran pajak, yang terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas assidui atau golongan kaya dan plotariat atau golongan miskin. Pergeseran selanjutnya adalah istilah yang dipergunakan oleh Marx, khususnya dalam bidang ekonomi yakni untuk menentukan kesenjangan sosial.
Menurut Elster, teori Marx tentang kelas mulai dengan seperangkat kepentingan tertentu yang didefinisikan secara obyektif yang muncul dari hubungan-hubungan penindasan serta dominasi oleh kelompok elite terhadap aset produksi. Obyektifitas manusia mencul akibat adanya pemikiran bahwa orang senantiasa memiliki kepentingan agar tidak menjadi kelompok atau individu yang didominasi oleh kelompok atau individu lain. Peningkatan kepentingan tersebut hanya dapat diraih secara kolektif, atau dalam artian membentuk suatu kelompok yang memiliki karakteristik yang sama atau kepentingan yang sama. Teori ini juga mengkaji tentang kenapa kepentingan obyektif muncul sebagai kepentingan subyektif yang tidak dirasakan oleh sebagian kelompok orang. Teori ini juga mengkaji tentang perjuangan kelas dari masyarakat.
Pengajuan perbedaan kelas dan status selanjutnya banyak dibahas juga oleh Weber dengan secara lebih ekplisit menyebut kelas, status dan partai. Ketiga kelas ini menunjukkan tatanan sosial dalam masyarakat. Kelas merupakan stratifikasi sosial berkenaan dengan hubungan produksi dan penguasaan harta benda. Kelompok status lebih ditekankan pada nilai yang dianut dalam kelompok sosial sebagai suatu perwujudan stratifikasi berkaiatan dengan pengkonsumsian atau penggunaan harta benda sebagaimana yang dicerminkan sebagai gaya hidup. Sedangkan partai merupakan perkumpulan sosial yang berorientasi terhadap penggunaan kekuasaan sosial dalam masyarakat guna mencapai kepentingan-kepentingannya (individu atau kelompok) dalam masyarakat.
Marx tidak pernah secara khusus dan mendetail membahas dan meyebutkan apa yang dia maksud sebenarnya dengan kelas. Namun yang terjadi adalah merekonstruksi berbagai definisi dari tulisan-tulisan yang pernah ditulisnya dengan cara merujuk kembali tentang apa yang dimaksudnya sebagai kelompok-kelompok yang seringkali dirujuk sebagai kelas. Pandangan Marx secara khusus yakni kelas-kelas merupakan unit-unit fundamental (dasar) dalam konflik sosial yang berimplikasi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Kelas-kelas tidak dapat dibedakan secara khusus dan mendetail, namun demikian kelas memiliki keberadaan riil dalam masyarakat.
Jadi konsep kelas menurut Marx, mengandaikan bahwa terjadi interaksi-interaksi antara anggota-anggota kelas-kelas yang berbeda dengan cara mentransfer perintah atau surplus. Marx beranggapan bahwa pelaku utama dalam kemasyarakatan adalah adanya kelas-kelas ini. Sehingga sangat perlu kita memperhatikan keberadaan kelas ini dalam masyarakat. Menurut Marx, kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pascafeodal, sedangkan golongan dalam sosial dalam masyarakat feodal dan kuno disebut dengan “kasta”.

Ketertutupan Kelas Sosial dan Mobilitas Sosial

Hubungan antara kelas dan kasta pada masyarakat yang bersifat feodalistik lebih jelas lagi diungkapkan oleh Parkin mengenai ketertutupan sosial. Ketertutupan sosial merupakan kemampuan suatu kelompok untuk menutup diri dari masuknya anggota kelompok lain untuk menjadi bagian atau anggota kelompoknya. Ketertutupan kelas sosial merupakan sebuah cara utama yang penting dalam membentuk sebuah kelas baru. Pembentukan kelas sosial yang dominan terhadap masyarakat dapat dicapai melalui kontrol monopolistik terhadap sumberdaya, termasuk yang diutamakan Marx seperti tanah dan kapital, di samping kekerasan melalui senjata.
Weeden, seperti yang dikutip dari pendapatnya Weber, menyatakan bahwa ketertutupan sosial menunjukkan sebuah kompetisi untuk mempertahankan kelompoknya dari penurunan ketertarikan terhadap kelompok. Suatu kelompok akan mencoba untuk memonopoli keuntungan dan memaksimlakan ganjaran mereka dengan menutup kesempatan dari luar yang mereka definisikan sebagai kelas bawah (inferior) atau tidak memiliki kriteria seperti yang mereka syaratkan. Ketertutupan sosial ini dapat berdasarkan bermacam-macam hal, diantaranya karakteristik yang nampak ataua kelihatan, penggolangan berdasarkan ras, latar belakang sosial, bahasa, agama dan gender. Teori ketertutupan sosial juga menggolongkan berdasarkan kriteria-kriteria individu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam masyarakat seperti kepercayaan terhadap tingkat pendidikan, pengetahuan, atau jumlah kekayaan.
Ketertutupan dalam kasta merupakan hal yang spesifik dari teori ketertutupan sosial.
Ketertutupan kelas sosial (kasta) merupakan sebuah warisan feodalistik. Pada kebanyakan masyarakat tani (masyarakat agraris) yang merupakan refresentasi dari keberadaan sistem stratifikasi sosial yang mirip kasta masih kuat terjadi, petani hanyalah sebagai penyewa lahan pertanian dari kelompok masyarakat yang memiliki modal (penguasa tanah). Dengan keadaan dan dibawah bayang-bayang dari foedalistik peninggalan Hindu, maka menjadi suatu hal yang sulit untuk melakukan mobilitas antar kasta.
Mobilitas antar kasta sendiri merupakan suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Sruktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Pada masyarakat berkasta, umumnya mobilitas sosial yang terjadi adalah mobilitas yang bersifat horizontal (perkawinan satu kasta) dan sangat jarang ditemui adanya mobilitas sosial yang bersifat vertikal antar kasta (perkawinan antar kasta). Mobilitas sosial vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan inidvidu atau objek sosial dari satu status ke status yang lainnya yang tidak sederajat. Gerak sosial sesuai dengan arahnya digolongkan menjadi dua, yaitu mobilitas sosial naik (social climbing) dan mobilitas sosial turun (social sinking). Mobilitas sosial naik (social-climbing) ini memiliki dua bentuk utama, yakni masuknya individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, pada kedudukan yang telah ada dan pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat lebih tinggi dari kedudukan individu pembentuk kelompok tersebut. Sedangkan mobilitas sosial turun (social-sinking) mempunyai dua bentuk utama, yaitu turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya dan turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan.
Namun demikian, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melihat dan mengkaji mobilitas sosial vertikal ini, diantaranya
(i)     hampir tidak ada sebuah masyarakat yang memiliki sistem sosial yang sangat tertutup, dimana sama sekali mobilitas vertikal terjadi;
(ii)   betapa terbukanya sistem pelpisan sosial suatu masyarakat tidak akan mungkin suatu mobilitas sosial vertikal dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, pasti memiliki banyak sekali hambatan-hambatan;
(iii)  mobilitas sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua masyarakat tidak ada, setiap masyarakat masyarakat memiliki ciri dan karakteristik sendiri bagi mobilitas sosialnya;
(iv) laju mobilitas sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik serta pekerjaan adalah berbeda; dan
(v)   berdasarkan bahan-bahan sejarah, khususnya dalam mobilitas sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan pekerjaan, tidak ada kecenderungan yang kontinyu perihal bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial. Hal ini berlaku bagi negara, lembaga sosial yang besar dam juga bagi sejarah manusia.



Daftar pustaka
-          Giddens, Anthony, Sociology, edisi ke –4, Cambridge; Polity press.
-          Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi edisi ke-2,2000; Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
-          Marx, Karl dan Engels, Frederick, Selected Works, vol 1 dan vol 2, Moscow, 1962; Foreign Languages Publishing House.
-          Yermakova, Antonina dan Ratnikov, Valentine, Kelas dan Perjuangan Kelas, cetakan-1, Yogyakarta; Sumbu.
-          Rius, Marx untuk Pemula, cetakan ke-1, 2000; Insist Press.
-          Lenin, V.I, Marx- Engels- Marxism, seventh revised edition, Moscow, 1965; Progress Publishers.
-          Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta, 2001; PT Gramedia Pustaka Utama.
-          Simon, Roger, gagasan-gagasan politik Gramsci, cetakan ke-1, 1999; Pustaka Pelajar dan Insist Press.
-          Sadali, Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, 2002; Pustaka Pena
-          Afanasyev, A, Marxist Philosophy, Moscow, 1968; Progress Publishers.